Dulu, pernah sekali dua, saya berucap ingin merasakan ramadan di rantau, terlebih suasana puasa hari pertama jauh dari rumah. Entah kenapa. Kayaknya seru aja. Ya, mungkin karena memang dari kecil selalu di rumah, gak pernah jauh. Bahkan pas kuliah di Pekanbaru juga kalau mau balik ke Air Tiris juga deket.
Tak jarang juga saya sering berucap, “Kapan ya saya bisa merasakan mudik menjelang lebaran seperti orang-orang?!” Ada yang hanya bertanya dalam hati, ada juga yang terucap pada teman, saudara, bahkan pada Ibu waktu itu. Haha, aneh ya!
Ternyata apa yang pernah terucap, cepat atau lambat, bisa jadi kenyataan! Yaa, bener! Dulu, awal masuk kuliah dan gabung jadi salah satu reporter kampus, saya pernah ngomong dalam hati ingin jadi pemred, ntar. Ternyata gak cuma dalam hati, keinginan ini pernah saya tulis, iseng aja sebernarnya, dan alhamdulillah, saya pernah nyicipin duduk di posisi itu.
Ada banyak momen dimana sesuatu yang diucapkan memang dari hati, seringnya terwujud. Tapi buat yang satu ini, ramadan pertama jauh dari rumah, things that I really wished become true! Saya menyambut ramadan sendiri, dan (finally) merasakan mudik lebaran sendiri!
Ada banyak momen dimana sesuatu yang diucapkan memang dari hati, seringnya terwujud. Tapi buat yang satu ini, ramadan pertama jauh dari rumah, things that I really wished for became true! Saya menyambut ramadan sendiri, dan (finally) merasakan mudik lebaran sendiri!
I feel very sad to know that this is my first Ramadan that I live alone and far from home, far from family! Sedih banget. Biasanya sehari sebelum puasa, ada tradisi balimau kasai, tradisi dimana orang bersuka cita dan bersiap menyambut ramadan. Malamnya di rumah, selepas magrib, saya dan saudara nunggu ibu sama ayah pulang mesjid dan bermaaf-maafan sebelum makan malam bersama.
Biasanya, malam ramadan pertama, menu makan malam mendadak enak, ada rendang! Atau menu yang berbeda dari biasanya. Sekalian jadi menu buat sahur pertama. Semua keluarga kumpul di rumah. Menyenangkan, kalo diinget.
Satu lagi yang juga ditunggu-tunggu, menu buka puasa! Iya, biasanya buka puasa hari pertama ada kuabu. Menu buka puasa kesukaan yang tak boleh ketinggalan.
Dulu momen-momen ini gak ada spesialnya sama sekali. Ya, maklum emang udah dari dulu memang seperti itu. Saya gak tau ntah siapa yang memulai tradisi ini di keluarga kami. Seperti kata bijak yang sering terdengar, “Sesuatu itu baru terasa berharga kalo udah tak bersama.” Ternyata momen ini saya rindukan, sekarang! Kalimat yang sering didengar, sederhana tapi benar adanya. Kita akan menganggap itu biasa karena terbiasa. Ketika berbeda, kita akan merindukannya (gayaa banget, Tikkkk!).
Saya sebenarnya tak mau terlalu larut dalam kerinduan ini. Ya, wajar kalo rindu, tapi jangan sampai berlarut-larut hingga lupa menciptakan momen ramadan versi diri sendiri. Dan ini bisa jadi akan saya rindukan beberapa tahun mendatang! Who knows?!
Sebagai seorang perantau, saya harus mempersiapkan sendiri menu sahur dan berbuka. Bukan, bukan. Saya tidak memasak, tetapi mempersiapkan list menu saja. Itu udah bikin bingung. Bosen makan itu mulu, ah itu lagi itu lagi, ah kemaren udah makan itu masa sekarang makan itu lagi, dan sebagainya. Iya, perkara mau makan apa saja bikin saya bingung. Padahal menyiapkan untuk diri sendiri saja lho. Gak kebayang gimana pusingnya Ibu saat mikirin menu sahur dan buka untuk sekeluarga. Menu yang bukan sesuai selera dia, tapi pasti mengutamakan selera anggota keluarganya. Ah, memikirkan pusingnya Ibu saja udah bikin saya pusing hehe.
Setelah menjalankan puasa di minggu ketiga ramadan ini semakin melatih kesabaran dan juga sudah terbiasa. Perjuangan memang lebih terasa. Seharian di kantor dan harus melawan rasa kantuk yang luar biasa. Balik mesti naik angkutan umum dulu agar bisa hemat dan bisa makan hingga akhir bulan. Nyampe kosan mesti nyari makanan lagi. Ah, beda banget dari kehidupan waktu ramadan tahun lalu.
Bukan, bukan bermaksud mengeluh. Tapi mencoba buat bersyukur karena ini semua adalah proses. Ternyata saya cukup kuat untuk melewati semuanya. Ya, semua harus dihadapi dan dijalani agar tahu sejauh mana diri ini mampu bertahan. Semua yang terjadi memang harus disyukuri, apapun itu.
Banyak hal yang ingin saya ceritakan mengenai kerinduan merasakan ramadan di rantau, tapi lain kali saja. Percayalah tulisan ini juga sudah saya draft sehari sebelum memasuki bulan puasa. Tapi baru bisa tayang di blog belasan hari setelahnya.