Sudah seminggu setelah lebaran Idul Fitri (yang tidak semenyenangkan dulu), akhirnya saya baru sempat menulis postingan ini. Masih belum telat buat ngucapin Selamat Hari Raya Idul Fitri, kan? Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir batin semuanya.
Sudah pada balik ke perantauan lagi? Ya, saya besok.
Pulang ke rumah untuk mudik adalah hal luar biasa yang harusnya bisa saya syukuri. Impian dan harapan untuk bisa merasakan mudik akhirnya kesampaian juga.
Sebelumnya, saya merasa ternyata mudik gak seperti yang saya pikir. Fantasi yang terbangun dalam pikiran dan imajinasi saya sangat kontra dengan yang saya rasakan.
Sempat berpikir, kalo merasakan ini, kenapa saya harus susah-susah buat mudik?!
Kedatangan kita disambut suka cita, semua bahagia, keluarga dan saudara antusias dengan sejuta cerita-cerita, yang mungkin saja receh, saat di rantau, dan hal-hal menyenangkan lain yang sempat saya imjinasikan sebelum tahu kenyataannya.
Sudahlah, tak banyak orang bisa bereaksi sesuai dengan yang kita inginkan. Di hati bahagia akhirnya bisa bertemu, tetapi berbeda apa yang diucapkan. Malah mengomentari sesuatu yang seharusnya tak patut disampaikan.
Anyway, kenapa makin kesini lebaran terasa makin tidak mengasyikkan saat kecil dulu? Tidak ada lagi keceriaan saat menyambut saudara datang bersilaturrahmi ke rumah, tradisi berkunjung ke rumah sanak saudara jadi kurang menyenangkan.
Ah, kalimat kehidupan orang dewasa yang tidak mengenakkan itu benar adanya.
Saking stress dan beratnya kehidupan, mereka lupa untuk sedikit bersimpati dan berempati pada sekelilingnya. Mereka seperti kehilangan mimpi, mungkin hidup memang memaksa mereka seperti itu.
Bahkan mereka seperti kehilangan selera humor. Menjadikan hal yang sama sekali tidak lucu sebagai bahan lelucon.
Biar akrab dan dekat, katanya. Tapi di telinga yang menjadi objek leluconnya, itu sama sekali mengganggu!
Apa susahnya memberikan komentar atau berucap sesuatu yang positif dan suportif pada seseorang?
Ketimbang memberikan komentar yang pedas dengan nada sedikit membuli? Ah, mungkin memang orang dewasa sudah kehilangan seni dalam hidup.
Menganggap hidup harus dijalani sebagaimana mestinya, padahal banyak hal yang bisa dilakukan, tidak melulu tunduk pada ‘kebiasaan’.
Wajar jika banyak yang jengkel saat orang dewasa ini melontarkan berbagai pertanyaan sok peduli pada anak muda yang sedang mencari jati diri. Bukannya terlihat peduli, yang terjadi malah kebalikannya.
Saya juga berusaha untuk melihat dari sudut pandang berbeda.
Tidak salah memang, mungkin mereka memang peduli, hanya caranya saja yang berbeda dan tidak relevan dengan perkembangan jaman.
Tetapi, jika saya tidak mudik, tentu pelajaran ini tidak saya dapatkan. Meskipun pertanyaan ‘kapan nikah?’ dan sejenisnya tidak signifikan dan tidak mengganggu saya, tapi ada berbagai komentar negatif bahkan terdengar mencemooh soal keputusan hidup saya yang sungguh amat sangat mengganggu.
Banyak hal yang saya pelajari, salah satunya agar menjadi orang dewasa yang tidak menjengkelkan dan meghargai setiap keputusan seseorang (saudara, sepupu, keponakan, dst).
Setiap manusia adalah makhluk bebas yang punya hak dan otoritas atas dirinya sendiri. Biarkan masing-masing orang berproses dengan caranya sendiri. Belajar dengan caranya sendiri.
Saya mendapatkan kalimat bijaksana yang menguatkan saya belakangan atas semua kekecewaan dan cemoohan untuk apapun yang saya pilih dalam hidup.
Kata-kata seorang pelayan di Downton Abbey, William. Dia bilang, “He loves me, but he doesn’t own me.” saat ayahnya tidak mengijinkannya mendaftar untuk ikut berperang.
Apakah hanya saya yang merasakan lebaran tidak semenyenangkan dulu? Gimana lebaran Idul Fitri dan suasana mudik kamu? Menyenangkan? I hope so, ya!
Baca juga: Rindu Rumah Saat Ramadan di Rantau